Sabtu, 25 Maret 2017

Jiwa yang Berkelana (2)

1
JIWA YANG BERKELANA
(Bagian 2)


Kenapa dalam analogi tulisan ini jiwa diistilahkan dengan 'tidak bisa diberi nama'?

Karena Dia “senantiasa, telah, sedang, dan akan” berkelana di dimensi ruang dan waktu yang berbeda-beda, Kau ini di sini boleh bernama Aryandi Yogaswara tapi di kehidupan sebelumnya mungkin namanya adalah Anda atau siapapun juga namanya, entah siapa orang tuanya disana yang memberi nama, sebelum kehidupan ini entah dia jadi apa, entah apa wujudnya, entah ada di dimensi mana, dan demikian juga, setelah kehidupan ini, entah kemana lagi perjalanannya.

Dalam kondisi "Ruh", tentu selain tak bernama juga tak memiliki jasmani, yang termasuk didalamnya tidak berjenis kelamin.

-----

Sebelum dilanjut, mengingatkan pembahasan di bagian awal dari buku tentang perbedaan antara jiwa dan Ruh yang diibaratkan sebagai udara. Maka jiwa adalah udara yang ada di dalam badan kita, sementara Ruh adalah semua udara baik yang ada di badan maupun di seluruh bumi.

Dalam hal ini Al Quran menyebutkan penciptaan manusia menjadi hidup adalah dengan 'ditiupkannya Ruh, setelah itu, pembahasan mengenai Ruh yang ada di alam tubuh manusia diistilahkan dengan Nafs yang berarti jiwa, tidak lagi disebut sebagai Ruh.

-----

Saya bereksperimen dengan daya imajinasi bahwa Jiwa tidak berpetualang di alam „kita sebagai kita‟ saat ini saja, di kehidupan yang rata-rata usianya 0-70 tahun ini saja, tetapi Jiwa telah berkelana di kehidupan-kehidupan sebelumnya, dan akan melanjutkan perjalanan ke kehidupan-kehidupan selanjutnya, dari satu badan, masuk lagi ke badan yang lain, dan seterusnya. Sampai kapan? Nanti, di Bagian akhir dari Dongeng tentang Jiwa, akan kita bicarakan, 'akhir perjalanan Jiwa.'

Jadi, secara mekanis ibarat energi, yang terus ada, tidak bisa diciptakan dan dimusnahkan, melainkan hanya bertransformasi. Ruh selalu ada dan bertransformasi, ini diibaratkan berkelana dari suatu kehidupan ke kehidupan yang lain.

Mari kita asumsikan bahwa Ruh punya daya atau kuasa yang besar sekali, 'kuasa' ini bahan bakarnya adalah keinginan dan kepenasaran dari jiwa manusia yang adalah bagian dari Ruh.

Hakikatnya, sebetulnya daya yang berasal dari keinginan, itu ada untuk akhirnya mencapai tujuan penciptaan atau sebuah kebenaran kebenaran yang hakiki, yaitu mengenal Tuhan sebenar-benarnya, sebagaimana fitur yang diberikan oleh Tuhan YMK. Tetapi, sebelum sampai kepada menyadari ini, daya yang ada seringkali digunakan hanya untuk hal-hal yang bersifat duniawi 'yang rendah', yaitu keinginan yang kemana-mana, dan belum sampai ditujukan kepada “untuk mengetahui hakikat kenapa kita terlahir hidup di dunia”.

Ceritanya, ketika Ruh ada dalam jasad atau tubuh seorang yang miskin harta, dan dia menderita karena kemiskinannya, adalah alamiah ketika di hati kecil dia berbisik lirih, “aku ingin kaya”, maka Alam Semesta atau 'Ruh Besar' yang selalu ingin mewujudkan keinginan manusia seperti seorang Ibu yang selalu ingin memberikan apa yang diinginkan anaknya, akan menghitung, bagaimana supaya jadi kaya si orang miskin ini, ternyata diitung-itung, itungan-nya tidak kesampaian, terlalu banyak faktor yang tidak bisa dipenuhi di kehidupan sekarang, sulit untuk bisa  kaya di kehidupan yang ini, mungkin karena baik secara pikiran sadar atau pun pikiran bawah sadar sulit untuk paham gimana bisa kaya, pikiran sadarnya kurang keyakinan, pikiran bawah sadarnya apalagi, kalau sudah begitu, bagaimana dia bisa kaya di kehidupan ini?

Terus gimana dong? Maka keinginan untuk kaya ditunda ke kehidupan setelahnya, dan boleh jadi bila hasrat keinginan terlalu tinggi melampaui batas, yang ditandai dengan kemarahan dan ketidakterimaan, sebelum terlahir kembali jadi manusia, setelah mati boleh jadi mesti membayar dulu dengan jadi hantu penasaran!

Singkat cerita, si orang miskin yang ingin kaya jasadnya kemudian mati, Jiwa-nya berkelana lagi, dan sesuai janji bahwa semua keinginan akan dipenuhi, maka disiapkanlah kebutuhan yang cukup, apapun itu, agar si manusia yang ingin kaya memang lahir menjadi kaya, entah bagaimanapun itu, apa dari miskin jadi kaya atau lahir dari orang tua kaya, bagaimana pun ceritanya, pokoknya, singkat cerita Jiwa kemudian hinggap di badan orang yang kaya. Terpenuhi sudah keinginannya.

“Ahh... senangnya”, namun ternyata, selain memenuhi keinginan, Kehidupan selalu memberi kado lain yang berisi “pelajaran”, selalu akan ada yang kurang setelah keinginan terpenuhi sampai puncak keinginan diraih (mengenal Tuhan, baca: makrifat)

Dan demikianlah, setelah menjadi kaya orang ini merasa ada yang kurang, ada yang terasa masih kosong, apa itu? Misalnya, Cinta! “Aku kaya tapi ngga dapat cinta, hiks”, ya iyalah karena dengan duitnya si orang kaya ternyata bisa gonta-ganti pasangan, karena terbiasa berganti-ganti pasangan dia tidak bisa merasakan cinta sejati atau true love itu gimana, jadi penasaran dia, dan sebagaimana ia meminta lagi, 'Kalkulator Alam' pun menghitung lagi, bagaimana supaya bisa memenuhi keinginan si orang kaya untuk bisa mendapatkan cinta sejati, ternyata, setelah di itung-itung ngga akan terpenuhi dengan usianya, bayangkan dalam benak Anda, Alam menjawab, “wah, ngga bisa dikehidupan ini, ya sudahlah dikehidupan selanjutnya saja yaa..”, dan matilah jasadnya lagi.

Seketika, 'Jiwa tanpa Nama' berkelana lagi, masuk ke kehidupan yang lain untuk bisa menemukan cinta sejati, kemudian di kehidupan barunya, dapatlah ia merasakan cinta sejati, namun sebagaimana kita bersama duga, lagi-lagi ia temukan kado lain, bahwa cinta sejati itu penuh pengorbanan, ternyata UPS! Beginilah rasa dari cinta sejati, indahnya selangit tapi beratnya juga sebumi!

Tapi, tidak apa-apa dia sudah senang bereksperimen, mengalami dan main-main dengan cinta sejati. Selanjutnya, ada yang kurang lagi, apa? Sudah kaya, sudah dapat cinta sejati, nah rupanya sekarang adalah pelajaran tentang berbagi dengan sesama, jiwanya ingin belajar tentang berbagi cinta kasih sayang pada sesama manusia, yang lebih tinggi derajatnya daripada cinta sejati yang hanya untuk dirinya sendiri saja. Seperti biasa, Alam Semesta pun menghitung lagi, Alam yang Sempurna, mengkalkulasi lagi, Alam akan mewujudkan keinginannya kembali, dan…“ngga cukup, entar ya dikehidupan selanjutnya”.

Kemudian, si orang ini kemudian mati dan lahir kembali, menjadi seorang yang kaya, dapat cinta sejati, dan bisa berbagi kasih sayang dengan sebanyak–banyaknya sesama, “uhh..., happy nyaa”, ternyata bisa bermanfaat pada banyak manusia itu lebih membahagiakan daripada menjadi kaya dan menikahi cinta sejati.

Tapi, sebagaimana sifat keinginan, keinginan tidak pernah puas, seperti minum air laut, semakin diminum semakin haus. Dan kado lain masih ada bersama keinginannya, sampai keinginan yang terakhir diraihnya.

Apa kepenasarannya sekarang? Ooh Surga!  Sekarang si Jiwa ceritanya sudah puas dengan kehidupan di dunia, bukan saja ketiga hal di atas, namun sebagai Jiwa Tak Bernama, dia juga ceritanya sudah mengalami kisah menjadi seorang yang bejad durjana, miskin, kaya, mendapat cinta, bermanfaat bagi sesama, dan lain-lain, sudah banyak sekali yang didapat si Jiwa saat ini, sehingga semakin kehabisan kata-kata atas apa yang diinginkan, kemudian tertariklah dia dengan cerita surga, surga yang mana? Terserah, yang mana saja dari berbagai keyakinan dan kepercayaan.

Dari sini, kembali ceritanya disingkat, cring! Kini dia sudah berada di surga, ceritanya seru disini, dia mendapat apa yang dulu adalah imajinasi. Konon, ingin apa pun, cling! Ada, wah... inilah kebahagiaan tertinggi dari imajinasi (dari apapun yang bisa dibayangkan), serunya! Surga!

Maka, dia sangat menikmati hari pertama di Surga, hari pun berganti, hari kedua, hari keempat, hari kelima, hari ke seratus pun dia masih sangat menikmati, hari ke seribu mulai kurang kenikmatannya, sehingga pada hari ke sejuta, bagaimana kira-kira yang dirasa? Si Jiwa disini, pada hari ke semilyar dia bersama kenikmatan surga, ternyata sudah merasa eneg, dia bosan sebosan-bosannya, ternyata oh ternyata, ada kado lain dari kebahagiaan yang bernama Surga materialistis.

Setiap keinginan itu berbuah keinginan yang lain. Ingatlah kembali, yang namanya keinginan, itu seperti minum air asin lautan, makin diminum makin haus, ada aja yang luput, kirain surga sudah paling poll, ternyata belum, maka pada hari ke satu milyar sekian hari, jiwanya pun bercetus “Cukup Aku di sini, sudah mual dengan segala kebahagiaan ini, kenikmatan ini, kesenangan ini, tak mungkin bisa lebih lagi, bisa puyeng Aku!”

Maka ceritanya Alam pun bertanya, “terus mau apa sekarang?”(Apa hayoo?) Jiwa kemudian berkata “Aku ingin kembali ke bumi”,“Oya?”, “Iyaa pengen banget kembali ke  bumi, biar seimbang antara nikmat dan sengsara nih”,“Baiklah, oke, oke, ingin jadi apa?”, tanya Alam.

Para pembaca sekalian, seluruh Rakyat Indonesia yang majemuk, coba kira-kira apa yang dia inginkan? Apakah ingin jadi orang kaya? Pasti nggak, ingin dapat cinta? Pun nggak. Ingin jabatan yang tinggi? Nggak. Orang ini mungkin malah berkata, “Aku rindu akan kebahagiaan hidup yang perlu untuk melalui kesengsaraan, derita, dan kesedihan untuk meraihnya.” Dan.... dia pun jadilah orang yang sengsara, orang miskin, orang susah, mungkin juga orang cacat, atau apapun itu, yang dekat dengan yang namanya sengsara dan kesedihan. Sehingga bisa menikmati lagi, merasakan lagi sengsara yang dia sudah sangat rindukan setelah 'semilyar' hari lebih berada di Surga.

Cling! Lahirlah kembali dia, kali ini dibawah kolong jembatan atau di sebuah gubug reyot dengan segala kesusahan yang ada. Tapi yang menarik disini adalah, karena jiwa di dalamnya sudah berkelana jauh kemana-mana, sudah banyak makan asam-garam, maka ketika badannya terkoneksi kembali dengan jiwa yang yang tua yang ada di dalam dirinya, badan, pikiran, perasaan,dan jiwanya cepat padu kembali, dan dia jadi pancer lagi.

Maka, mungkin iya dia secara lahir tampak sebagai orang susah, tapi di dalam, hatinya menerima, kemudian jadinya tidak kena susah dan pasti berkecukupan, dia menjalani hidup dengan syukur dan syukur, dia bahkan mungkin lebih bahagia dari orang kaya yang ada di sekitar dia. Dia mungkin, sudah dekat dengan akhir perjalanan Jiwa dalam dirinya.

Baiklah, itu tadi di atas adalah salah satu versi Surga, agar lebih seru, saya akan ceritakan versi Surga yang lain. Yaitu Surga yang namanya Valhalla, ini adalah tempat berpulang kaum Viking yang gagah berani dalam berperang, mereka yang mati dalam keadaan bertempur tanpa ada rasa takut.

Bayangkan, ketika tertikam pedang musuh, seorang ksatria Viking yang mau mati berseru kencang kepada sesama saudaranya yang masih hidup, “Sampai jumpa di Valhalla!!!”, “Arrrgggggh…!” Menjerit dan kemudian, mati. Dan cling! Bangkitlah dia di Valhalla.


Valhalla adalah tempatnya para pejuang Viking yang gagah berani, semangat mereka adalah cikal bakal dari pasukan SS yang menakutkan di Jerman di kemudian hari, pasukan yang tak takut mati. Valhalla, konon adalah sebuah aula besar, yang di dalamnya berisi semua jenis makanan kesukaan bangsa Viking, berikut dengan minuman ber-alkohol-nya. Ketika terbangun di Valhalla, bangsa Viking akan mulai dengan makan-minum sepuasnya, setelah itu mereka mulai mabuk dan akan bertengkar dengan sesamanya, mereka akan berkelahi dengan beraneka ragam senjata, sampai mati.

Tapi, kali ini mereka jelas tidak takut sama sekali, karena mereka tahu toh esok pun yang mati akan bangun lagi di Valhalla, makanminum lagi, dan berkelahi lagi sampai mati untuk hidup lagi keesokan harinya.  Hari pertama sepertinya menarik dan sangat menyenangkan, tapi bagaimana dengan hari ke satu milyar?

Demikian, seperti itulah kurang lebih makna simbolis dari Surga, Nirwana, Valhalla, Heaven, dan lain-lain, adalah sebuah kondisi dimana kenikmatan diperoleh tanpa henti, dan hanya kebosanan yang bisa menghentikannya.

Poin utama dari kisah imajinatif di atas yang adalah dongeng dengan pendekatan konsep semisal Reinkarnasi adalah, jangan takut terhadap kehidupan, jangan terlalu banyak bersedih atas keadaan sulit yang ada sekarang. Kan masih ada kehidupan-kehidupan selanjutnya setelah kematian, mestilah akan ada petualangan-petualangan lainnya setelah kehidupan yang ini. Jangan ada takut lagi sekarang, jangan pula ragu, dan jangan bersedih lagi. Semua jalan diperbolehkan untuk Anda, sebebas-bebasnya, Andalah yang membuatnya, Anda yang pilih, Anda yang tentukan, dan dewasalah bahwa Anda juga yang terima konsekuensi dan resikonya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar