Sabtu, 25 Maret 2017

Pancasila dan Kebersamaan Kita

Penutup

PANCASILA DAN KEBERSAMAAN KITA 


Kebersamaan adalah yang menyatukan kita bersama biarpun sebagai bangsa kita memiliki latar belakang suku, agama, dan ras yang berbeda.

Sayangnya saat ini banyak bangsa Indonesia yang sudah lupa dan tidak peduli kepada pentingnya kebersamaan untuk memperoleh kebahagiaan hidup sebagaimana dulu sekali leluhur kita hidup dengan damai dan sentosa.

Dengan pendekatan jiwa, yaitu kondisi yang tidak dikuasai oleh materialistis dan kekuasaan namun sebaliknya menguasai materi dan membangun kepemimpinan, maka nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan sebagai naluri dasar dari hidup berbudaya akan bisa dibangkitkan kembali.

Adalah tidak bijak ketika mendefiniskan Tuhan seolah seperti sosok yang begini dan begitu dan melihat bahwa hukumnya melekat berbeda kepada manusia hanya karena agama yang dianutnya berbeda. Pendekatan terhadap Tuhan yang paling mendekati kebenaran hanya terlahir melalui kejujuran, yang akan muncul dari kemurnian naluri dan nurani manusia bukan bersandar kepada “katanya”, dan ini bisa terjadi apabila esensi Ketuhanan yang dilihat bukan lagi bungkus melainkan isi, hanya bisa dipahami ketika yang dilihat bukan lagi substansi melainkan esensi.

Tuhan tidak pernah bisa terjangkau oleh manusia, kita hanya bisa mendekati kemahakuasaaNya yang termanifestasi melalui ciptaan-Nya dan hukum yang ada pada ciptaan-Nya.
Memahami ini akan berlanjut kepada mulai melihat segala sesuatu sebagai rangkaian sistem sebab akibat yang satu, bahwa sebab segala sebab hanyalah mungkin satu saja, dan antara beragam sistem, baik dalam tatanan hukum Alam maupun hukum Sosial, ketika semakin tampak bahwa polanya itu adalah sama, maka ini jelas menunjukan kepada dua hal, yaitu adanya pembuat pola dan pembuat pola adalah Dia yang Esa.

Saat ini, semua cerita dan berita tentang Tuhan yang disampaikan manusia, pasti bukan kebenaran yang hakiki, karena jelas sekali Tuhan tidak bisa terjangkau oleh manusia. Semua yang dari manusia muncul didasarkan kepada kondisi, pengalaman, dan perjalanan hidup yang berbeda-beda yang ia peroleh sedari kecil sampai besar, dimulai dari keluarga, lingkungan rumahnya, lingkungan pengajian atau keagamaan, lingkungan sekolah, apa yang ia baca, komunitas yang dia ikuti, dan lain-lain.

Kebenaran itu adanya bukan pada pendapat atau teori, tetapi kebenaran itu ada pada aplikasi atau praktek yang nyata dalam menjalani kehidupan, yaitu pastinya berkesesuaian suatu tidakan dengan hukum sebab dan akibat yang ada di alam semesta sebagai ciptaan Tuhan, baik dalam ranah alam maupun sosial.

Apabila kehidupan kita sebagai umat manusia masih belum berjalan sebagaimana yang diharapkan bersama itu pertanda belumlah sampai kita semua kepada mendekati kebenaran mempraktikan kehidupan, usaha kita bersama masih sibuk pada membuka kulit dan belum sampai kepada menikmati isi.

Berbicara tentang jiwa, bila jiwa disepakati ada sebagai bagian dari pendekatan kepada Tuhan, maka semua perjalanan Jiwa, sepanjang dan sejauh apapun tidak lain untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhan, untuk kembali pulang kepada Tuhan. Dari sini, perjalanan jiwa hendaknya dilihat selalu sebagai proses pembelajaran. Jiwa belajar untuk mengetahui kenapa dia ada dalam kehidupan.
Setiap kata orang tua kita dalam bentuk wejangan moral, sesederhana pesan orang tua saya di kampung, yang bilang, “Nak, di tempat kerja mu, kau jadi orang jujur yaa, biar dimudahkan hidupmu..”, atau seperti pepatah-pepatah bijak yang turun temurun disampaikan dari leluhur kita, semua pesan itu adalah ajaran tentang ketuhanan dan kemanusiaan yang nyata dan aplikatif dalam kehidupan kita sehari-hari, baik berasal dari suku atau kebudayaan, maupun dari agama dan kepercayaan.

Tidak akan ada pertentangan dalam esensi pesan kebaikan yang disampaikan sesama manusia, Tuhan mengilhami manusia untuk condong kepada kebaikan. Semua ajaran ketuhanan dan kemanusiaan baik adanya, adalah agar kita hidup tertib, rukun dan damai. Biar  kita lahir dari latar belakang suku, agama, ras, dan antar golongan yang berbeda-beda namun esensi ketuhanan dan kemanusiaan pastilah sama. Dan dengan melihat berbagai perbedaan atau keragaman sebagai berasal dari satu, barulah nilai ketuhanan dan kemanusiaan bisa diwujudkan.



Kalau dilihat dari lingkup terkecil, kembali kepada kenyataan bahwa kita lahir dari keluarga yang berbeda-beda. Ajaran tentang nilai dari orang tua kita berbeda, dan setelah dewasa, nilai kehidupan yang kita pegang pun berbeda-beda sejauh pengalaman dan wawasan hidup telah membawa kita. Inilah Indonesia, yang seperti mewakili kondisi dunia dalam keberagamannya, dan dalam berkah keragaman, supaya tidak jadi kutukan, kita harus selalu mawas diri dan menyadari serta menghargai akan adanya perbedaan, agar memandang sesama bisa dengan bijaksana, yaitu seimbang antara teori kebenaran yang diyakini dengan praktik berbagi kebaikan yang nyata kepada sesama.

Semakin dewasa, kita seyogyanya bisa menetapkan sendiri nilai kebenaran yang kita pegang dengan bukan atas dasar “katanya” lagi, tetapi memang demikianlah kebenaran berdasar kepada pengalaman atau perjalanan hidup yang telah kita lalui.

Kebenaran adalah tentang jalan ketuhanan, dan kebaikan adalah wujud nyata dan aplikasi dari nilai ketuhanan, ketika ketuhanan dalam diri menjadi praktik nyata dalam menjalani kehidupan sehari-hari yaitu dalam hubungan antar sesama manusia dan dengan alam, kemanusiaan itu namanya. Kebaikan adalah tentang kemanusiaan.

Saya meyakini, semakin ketuhanan dipahami secara mendalam, maka ia akan semakin meluas. Menjadi tidak norak kepada yang berbeda keyakinannya dan bahkan akan semakin besar rasa kemanusiaannya.

Setiap manusia Indonesia menjadi sadar akan keberadaan perannya. Kalau seseorang kebagian peran menjadi orang kaya, maka ia sepantasnya menjadi orang kaya yang baik, ia tersadar bahwa untuk meraih kekayaannya tidak perlu dengan jalan yang merugikan sesama karena merugikan sesama berarti merugikan dirinya sendiri. Maka ia akan memacu agresifitasnya untuk berusaha sekuat-kuatnya dan sebaik-baiknya, tanpa harus curang, buat apa curang yang merugikan orang lain, toh kecurangan akan kembali kepada dirinya sebagai kerugian dan kesengsaraan.

Kekayaan dan kekuasaan dikejar edan-edanan simply karena disangka itulah jalan kebahagiaan. Hanya orang yang tidak bahagia yang polahnya aneh-aneh, dan disadari atau tidak kemudian mulai merugikan orang lain. Orang yang bahagia, polahnya sederhana, ia tidak punya lagi intensi untuk macem-macem, ia akan lebih kepada menjaga kehormatan dirinya daripada bersikap membanggakan materi ataupun kekuasaan.

Inilah esensi pertama dan kedua mengenai pelajaran kehidupan tentang kebijaksanaan, yaitu Ketuhanan dan Kemanusiaan, yang dengan memahami dengan utuh kedua nilai utama ini, maka seluruh manusia Indonesia bisa menjadi manusia yang berbudi pekerti mulia, menjadi insan yang budiman yang mau mengikat tali persaudaraan dan kekeluargaan dengan semua manusia lainnya.

Demikianlah, manusia dimanapun berada akan menjadi lebih baik dengan kesadaran yang timbul melalui kemampuan membaca pengalaman hidupnya sendiri, yaitu tidak lagi melandaskan dasar kebenaran dari “katanya” manusia lain, walau awalnya kita mendapatkan pengajaran dari para ulama, para pendeta, guru agama, dan para pemimpin agama, namun selanjutnya kita yang bertanggung jawab sendiri atas nilai yang kita pegang sebagai kebenaran dan sebagai pijakan menjalani kehidupan.

Dengan kesadaran yang universal, maka semua manusia secara alamiah akan menerima nasib dan bakat yang dimilikinya untuk digunakan sama-sama membangun bangsa.
Setiap manusia memiliki perannya masing-masing dalam membangun masyarakat sebagai komunitas bersama dari lingkup paling kecil sampai paling besar. Dengan berdasarkan kepada nilai-nilai yang universal sebagai pemersatu dan pembangun kesadaran bersama, semua yang hidup berlandaskan kepada keyakinan akan adanya Tuhan semestinya dengan sukarela maupun terpaksa akan mempraktekan kemanusiaan dalam bentuk saling memberi kebaikan sehingga tercipta nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, yang berlaku buat kebaikan bersama yang berarti kebaikan bagi setiap individu dan keluarga serta masyarakat dan pada akhirnya dunia.

Dari menyadari kesamaan sebagai makhluk Tuhan yang sama-sama saling membutuhkan, munculah rasa kekeluargaan. Melihat semua manusia sebagai satu keluarga besar seperti tubuh kita yang bila salah satu bagian tubuh sakit maka semua merasakan sakitnya, maka apabila ada manusia yang sakit dan mendapat kesusahan atau kesengsaraan maka manusia lainnya sepatutnya merasa sakit pula. Inilah kebersamaan, ketika rasa kekeluargaan muncul dan gotong royong menjadi sebuah keniscayaan. Setiap manusia melihat dirinya dan sesamanya sebagai satu keluarga besar yang akan bersama-sama membangun kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Amin.


Sampai disini, mungkin ada sebagian Anda yang membaca tulisan ini, menjadi skeptis, Anda ragu, dan melihat bahwa kata-kata di atas hanya ada di awang-awang, di atas langit, di negeri di atas awan, yang istananya bernama kedamaian (lagu kali..). Maka, saya sampaikan, negeri di atas awan itu sangat mungkin terjadi atas karunia Tuhan, Kerajaan di langit itu akan jadi di Bumi. Singgasana Tuhan yang disebutkan di Al Quran, mestilah meliputi bumi kita ini. Tentunya, apabila syarat-syaratnya terpenuhi, yaitu manusianya sudah hidup berkasih sayang dengan sesamanya sebagaimana Tuhan menyatakan diriNya adalah Pengasih dan Penyayang.

Dan... Semoga adalah pengamatan kita bersama, bahwa syarat yang belum terpenuhi untuk mewujudkan suatu bentuk kebahagian bersama adalah perlunya kita kembali kepada nilai kehidupan yang universal dan tidak terkotak-kotakan oleh nilai semu yang mensabotase jati diri kita sebagai manusia ciptaan Tuhan. Nilai universal yang berada di atas kotak agama, kepercayaan, dan negara akan menumbuhkan rasa kasih sayang semua umat manusia.

Dengan menggunakan nilai yang berlaku universal, semangat kepatriotan mesti kita bangun sama-sama, sikap patriot adalah sikap mencintai tanah air, namun berbeda dengan semangat nasionalisme yang cenderung fanatik, patriotisme tidak melihat negeri sendiri lebih besar dari negeri lain. Kita sebagai patriot mencintai negeri dimana kita dilahirkan, menyanjung ibu pertiwi dimanapun kita berada, menghormati kebesaran kisah kepahlawanan yang ada di tanah kita sembari kitapun menyadari, bahwa demikian juga dengan bangsa lain, memiliki semangat dan rasa cinta yang sama seperti kita kepada ibu pertiwi kita.

Dalam kebersamaan kita sama-sama saling menghargai dan saling menghormati. Jangan pernah kecintaan kita kepada bangsa dan suku sendiri membutakan kepada melihat bahwa suku dan bangsa lain pun memiliki rasa cinta yang sama kepada tanah airnya dan bahwa pada dasarnya kita semua adalah manusia yang satu, yang mesti hidup bersama untuk memwujudkan kebahagiaan hidup bersama.

Demikian juga halnya terhadap agama, walaupun kita menyadari bahwa Tuhan yang disembah dan dipuja adalah Tuhan yang Satu dan Sama, tetapi setiap manusia tentu memiliki rasa cinta kepada agama yang awalnya memperkenalkan dirinya kepada Tuhan. Oleh karenanya kita mesti hidup saling menghargai dan menghormati, kemanusiaan perlu dijadikan cermin dari ketuhanan, tidak peduli sebesar dan sebanyak apapun ibadah yang kita lakukan berdasarkan kepada agama dan kepercayaan kita, bila tidak sampai kepada mempraktekan nilai kemanusiaan dengan nyata dan tidak lebih menjunjung ikatan persatuan dan persaudaraan antara sesama manusia, maka kita perlu mengevaluasi dan mempertanyakan sejauh mana nilai dari ibadah dan keberketuhanan kita.

Kalau sudah begini, yaitu dengan rasa kebersamaan yang telah mewujud, maka kita akan bisa membangun sebuah roda perekonomian yang berlandaskan kepada asas tolong menolong dan kekeluargaan. Sebuah usaha perekonomian bersama yang hanya akan bisa diberdayakan berbarengan dengan tatanan kepemimpinan atau pemerintahan yang berdasarkan kepada kebijaksanaan dan pemahaman yang mendalam tentang ketuhanan dan kemanusiaan, inilah yang dimaksud dengan hidup yang bercorak gotong royong sebagai jiwa dari Pancasila, ideologi Negara dan cara pandang Bangsa Indonesia.


Apabila semakin banyak manusia dalam sebuah komunitas memiliki kesadaran akan pentingnya ketuhanan, kemanusiaan, kebersamaan, dan kepemimpinan, maka secara alamiah kita akan memilih hanya orang-orang yang pantas dan memiliki kapabilitas untuk dipilih berada dalam tatanan pemerintahan, dari mulai cakupan wilayah paling kecil sampai Pemimpin tertinggi.

Setelah pemimpin dari tingkat terendah keluarga sampai yang tertinggi memimpin sebuah negara, diisi hanya oleh orang yang baik dan benar, kita bersama tentu meyakini, bahwa tanpa perlu menangis dalam doa siang dan malam pun, kesejahteraan akan tercipta dan masyarakat dimanapun berada yang memegang konsep ini pasti hidupnya akan jadi makmur, menjadi masyarkat yang diberkati dan dilindungi oleh kekuasaan Tuhan.

Inilah idealisme yang ingin disampaikan oleh penulis dalam tulisannya. Bahwa dengan keinginan bersama yang sangat kuat dan luhur untuk berusaha bersama maka kehidupan akan menjadi lebih baik untuk semua.

Sebagai manusia, kita menyerahkan semua hasil kepada Yang Maha Kuasa, kewajiban kita adalah berusaha dengan sebaik-baiknya. Kita berusaha sebaik-baiknya dalam sisa usia kita untuk menjadi manusia terbaik yang bisa kita raih dalam hidup kita yang bermanfaat buat kehidupan bersama, buat kehidupan keluarga kita, dan tentu buat kehidupan pribadi kita.

Ingatlah selalu, bahwa kebaikan untuk diri tidak bisa lepas dari kebaikan bersama. Melakukan kebaikan bersama sebetulnya sedang melakukan kebaikan untuk diri sendiri.
Inilah kita, dengan niat yang ada dalam keinginan yang kuat dari dalam hati mari kita aktualisasikan bersama. Kita implementasikan teori kebenaran yang berasal dari nurani kita sebagaimana mestinya dan kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa bersama kita.



***

Raja Negeriku 

Yang terdiam dari suara sabar Jiwaku, 
Sabar seluruh bangsaku Aah perih tangismu, perih Jiwamu Tersisihkan oleh kawanan hitam 
Semua telah lelah menanti Bersuara untuk mereka, 
Raja Negeriku 
Kau telah lama terdiam 
Perubahan jerit hatiku, cermin Jiwamu 
Berikan terang untuk masa depan 
Berpegang semua saudara 
Tegar berdiri dalam mimpi yang Satu 
Perubahan untuk tanahmu, tanah airmu 
Untuk negeri dan mimpi bangsamu 

(Lirik dan lagu oleh Noah)



***

Terimakasih telah membaca buku The Constant Happiness sampai selesai, buku ini menunggu datangnya Raja Negeri sebagaimana yang disampaikan di lagu Noah di atas.

Untuk melanjutkan perjalanan membaca Anda bersama penulis, selanjutnya bisa membaca Buku Hikmat di blog:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar