Sabtu, 25 Maret 2017

Pokok Kelima

Pokok Kelima

MEMAHAMI REALITAS DAN IMAJINASI


Diantaranya untuk dapat bahagia secara konstan, kita perlu untuk bisa membedakan mana realitas dan mana imajinasi sebelum kemudian menyelaraskannya. Apa itu realitas? Apa itu imajinasi? Untuk mudahnya, saya akan mengambil contoh hukum Maslow.


Yang pertama menurut piramida Maslow adalah kebutuhan fisik, yang adalah makanan, minuman, pakaian, tempat berlindung, dan lain-lain. Jangan sampai kita lupa hal yang sederhana, bahwa kebutuhan badan untuk hidup dan bahagia pada dasarnya sederhana.

Saya ingin menggarisbawahi, bahwa yang membuat hidup tidak sederhana adalah imajinasi atau khayalan kita sendiri, imajinasi/khayalan yang salah arah membuat realitas menjadi rumit. Misalnya soal kebutuhan fisik, kalau kita bicara makan minum, maka makan nasi dengan kerupuk, dan minum air putih pun sudah cukup untuk mengenyangkan, demikian juga tempat tinggal, kalau belum sanggup beli rumah tembok, rumah bilik pun bisa ditinggali dan orang bisa bernaung dari kepanasan, kehujanan, dan angin malam yang dingin.

Namun kenyataannya, pikiran yang berimajinasi suka berkelana, “ah saya mau makan apa ya? Saya pengen makan sama daging kambing nih, atau pecel ayam nikmat sepertinya, pizza deh, martabak india, hmm aku pengen spageti” Wuihh…. Disinilah kebutuhan yang sederhana mulai menjadi kompleks dan bersyarat lebih banyak untuk mendapatkannya.

Karena imajinasi, realitas sederhana jadi tidak sederhana lagi, tidak bahagia kalau tidak makan spageti, tidak bahagia kalau tidak makan di restoran mewah itu, tidak bahagia kalau tidak makan di warteg yang nikmat itu, kecewa kalau siang ini tidak makan mie rebus pake telor, karena yang ada di depan mata hanya nasi dan tahu. Orang bisa jadi tidak bahagia karena imajinasi yang tidak disadarinya.

Perhatikan, bahwa dari kelima piramida kebutuhan menurut teori Maslow, hanya yang pertama yang adalah kebutuhan real, keempat kebutuhan diatasnya bersifat imajinatif sehingga perlulah kita berpikir dan berusaha secara strategis untuk meraihnya.

Kebutuhan kedua adalah kebutuhan atas rasa aman atau kepastian, maksudnya, setelah manusia cukup makan, dalam pola kehidupan yang masih sederhana, secara alamiah akan mulai berpikir, “…nanti saya akan lapar lagi, gimana saya memenuhi kebutuhan makan nanti?” Rasa keamanan, atau istilah lainnya kepastian, butuh untuk dipenuhi.

Demikianlah imajinasi, bisa membuat rasa takut, takut menghadapi kenyataan bahwa suatu nikmat atas pemenuhan kebutuhan itu tidak langgeng, sehingga akibatnya manusia selalu membutuhkan kepastian akan adanya nikmat selanjutnya. Manusia yang imajinatif, sadar atau tidak sadar dalam pikirannya selalu berlari dari satu nikmat ke nikmat lainnya. Disitulah sumber masalah, kalau Anda hanya tahu kebahagiaan di luar, Anda harus senantiasa siap loncat dari satu kebahagiaan semu ke kebahagiaan semu selanjutnya.

Kebutuhan ketiga dari teori Maslow adalah kebutuhan atas kasih sayang atau status secara sosial, kalau sudah mendapat kepastian, misalnya kepastian mendapatkan gaji yang teratur, apalagi kalau gede, bisnisnya sudah bagus, besar, dan menghasilkan, pokoknya sudah aman dari sisi kemapanan, maka selanjutnya yang dikejar adalah, cinta kasih sayang dan status sosial. Perhatikan, cinta pada dasarnya adalah berasal dari imajinasi juga, kan?

Mengejar kekasih hati ceritanya. Padahal yang dibutuhkan pada skala primitif ketika mengejar kekasih hati adalah kebutuhan akan nikmat seks, sebetulnya, tidak perlu menikahi cowok yang ganteng itu, atau si dia yang cantik itu, rupa yang sederhana pun ok, tetap bisa saling memberi dan menerima kasih sayang juga bila memang itu kebutuhannya. Dan bahkan, secara ekstrim, saya ingin mengatakan, kalau kebutuhan seks yang mendasar, yang dibutuhkan oleh badan belum terpenuhi, semisal belum dapat jodoh untuk dinikahi, atau istilahnya jomblo berkepanjangan, maka kebutuhan seks bisa terpenuhi dengan masturbasi, biarpun cara ini tentu cara yang rendahan, namun kebutuhan seks jadi cukup terpenuhi, “terpaksa” istilahnya.

Masalahnya, selalu muncul imajinasi-imajinasi lain, bahwa pemenuhan kebahagiaan itu harus begini begitu, rumah harus begini begitu, kalau masih begini begitu ya gak bahagia, kekasih idaman hatinya harus yang ini, spesifik yang seperti itu, hanya dialah dambaanku, dan seterusnya, muncul syarat, muncul perjuangan, dan pasti... saat belum terpenuhi, muncul derita.

Jadi, sampai disini mari kita simpulkan sama-sama tentang sesuatu yang sangat penting dalam pembelajaran kehidupan, bahwa sumber derita tidak lain adalah ketidakwaspadaan kita terhadap keinginan kita sendiri.

Kemudian menurut Maslow, setelah kebutuhan kasih sayang diperoleh, muncul kebutuhan atas penghargaan, yaitu tadi, kebutuhan untuk dihargai oleh komunitasnya, masyarakatnya, dll. Wujudnya dalam materistis bisa karena mobil bagus, rumah bagus, istri cantik, jabatan tinggi dan seterusnya, sementara wujud dalam sosialistis itu adalah kemampuan untuk berada di atas manusia, kekuasaan istilahnya, atau dalam makna yang lebih positif, adalah kepemimpinan atas manusia lain.

Pada level piramida yang terakhir, aktualisasi diri, bukan lagi harta dan wanita disini, bukan lagi bentuk rendahan yang ingin diraih, yaitu bukan soal kematerian. Aktualisasi diri, adalah tentang siapa saya, apa karya saya yang saya tinggalkan pada kemanusiaan, apa kebaikan yang saya tinggalkan pada sebanyak mungkin manusia sebelum saya meninggalkan dunia.


Aktualisasi diri tentu berhubungan dengan spiritualitas atau Ketuhanan, bagaimana seseorang memandang diri dan kehidupan dan bagaimana mengaktulisasikan nilai ketuhanan dalam dirinya. Inilah diantaranya bentuk panggilan “bakti” kepada Tuhan yang utuh, yaitu mengaktualisasikan bakat yang kita miliki dan menjalankan takdir yang menyertai kita. Kondisi ini hanya bisa diraih dengan betul apabila sudah bisa melepaskan diri dari semua level yang ada di bawahnya.

Demikian sekilas tentang teori Maslow, poin saya mengajak Anda ke teori Maslow ini adalah sederhana, pertama dan setidaknya adalah agar kita bisa mulai membedakan realitas dan imajinasi dalam pikiran dan kehidupan kita. Kebutuhan realitas sebetulnya sederhana, tapi keinginan yang berasal dari imajinasi, itu terkadang yang membuat hidup jadi rumit dan sengsara. Karenanya untuk maju masuk ke kebutuhan di atas kebutuhan dasar atau fisik, kita mesti paham dulu situasi dan kondisi nyatanya. Agar ketika masuk ke kebutuhan imajiner, yang diraih adalah kebutuhan imajiner yang sudah pantas untuk menjadi nyata.

Hal ini karena imajinasi adalah sumber, daya, dan modal terbesar manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya, namun seperti pedang bermata dua, selain bisa meningkatkan kualitas hidup manusia, imajinasi juga berpotensi untuk memberikan kita kesengsaraan dalam hidup melalui keinginan yang berlebih.

Jadi, untuk bisa merasakan bahagia yang konstan pandai-pandailah melihat mana kebutuhan real dan mana imajiner terlebih dahulu, sama sekali tidak salah untuk mengejar kebutuhankebutuhan imajiner dalam proses mengalami dan menikmati hidup, semua yang ada di piramida Maslow adalah hak kita semua sebagai manusia yang diciptakan Tuhan untuk berbahagia hidup di dunia. Dengan kita memahami ini, kita paham, kita tahu, dan kisa sadar diri, bahwa ada sisi lain dari keinginan yang bersumber dari imajinasi/khayalan, dan karenanya kita tidak akan edan-edanan berlebih dalam kepayahan dalam mengejar keinginan-keinginan kita. Kita hanya menghendaki keinginan kita yang pantas untuk mewujud, bukan memaksakan apa yang bukan menjadi hak dan kepantasan kita.

Terakhir mengenai Piramida Maslow, konon sebelum meninggal Maslow menambahkan satu kebutuhan lagi yaitu Kebutuhan Spiritual atau Ketuhanan untuk membedakan dengan kebutuhan aktualisasi diri, dan kemudian dia berpikir untuk membalikan posisi Piramida, sehingga proses yang mesti dilalui manusia untuk menjadi paripurna adalah dimulai dari kesadaran yang bersifat Spiritual Ketuhanan, kemudian menemukan aktualisasi dirinya berdasarkan bakat yang diberikan oleh Tuhan, dan setelah itu barulah dirinya akan dihargai atas keaktualisasian diri, mendapatkan afeksi dan dihargai dalam tatanan sosial, terpenuhi kepastian dan keamanan untuk menjalani hidup, serta barulah terakhir pemenuhan kebutuhan primer akan lengkap terpenuhi dengan sendirinya sebagai kebutuhan yang paling akhir – bukan awal.

Hal ini benar adanya bila kita bisa menyadari bahwa setelah seseorang terpenuhi kehidupan materinya secara berkelimpahan, kemudian kekuasaan atas manusia pun dia peroleh, sudah istilahnya cukup puas keliling dunia dalam artian menikmati kehidupan dunia, maka selanjutnya seseorang mestilah hanya menginginkan yang sederhana saja. Ketika dulu dia biasa makan singkong rebus di kampung, maka itulah nikmat terbesar dia setelah tua, yaitu makan singkong rebus saja.

Jadi kesimpulan sementaranya adalah, kalau Anda sudah memiliki kebahagiaan di dalam yang berlandaskan kepada Jiwa, maka mengejar segala kebutuhan imajiner materi akan lebih bisa dinikmati, lebih santai. Santai dan menikmati disini bukan berarti tidak kerja keras, namun, karena bisa menikmati apa yang dilakukan maka bekerja keras sebaik-baiknya itu tanpa adanya keterpaksaan dan keharusan.

Kebahagiaan jiwa, adalah kebahagiaan yang berasal dari dalam diri, seyogyanya mempermudah dan menghantarkan Anda memenuhi kebutuhan materi, ia membantu meredakan nafsu yang ada dalam bentuk keinginan-keinginan yang tidak perlu dan berlebih dengan cara melepaskan keterikatan kepada keinginan yang menjadi sumber derita, ingat, bukan melepaskan dari setiap apa yang diinginkan, tapi menjadi eling dan waspada terhadap mana keinginan yang pantas dan mana yang tidak.

Perhatikan sekali lagi, keinginan, itulah yang mesti kita waspadai. Keinginan yang tidak pantaslah yang sering memperbudak manusia jadi orang bego, karena bego jadinya menghalalkan segala cara, sikut kanan, sikut kiri, tipu sana, tipu sini, manipulasi sana, manipulasi sini, utang sana-sini, kredit sana-sini, kurang percaya diri untuk bisa mendapatkannya secara elegan, itu semua pada dasarnya karena terlalu bodoh atau terlalu takut untuk tidak mendapatkan apa yang diinginkan, terlalu terburu nafsu, istilahnya terlalu memaksakan keinginan.

Namun jika Anda cukup memiliki keyakinan di dalam, maka Anda akan percaya diri, Anda tidak akan terburu-buru napsu, Anda tidak akan terikat oleh keinginan yang mengharuskan untuk mendapatkan sesuatu dengan cara apapun, Anda bebas-lepas namun fokus.

Dengan pemahaman jiwa, bagaimanapun hasilnya Anda akan tetap bahagia, menikmati, dan menerima. Anda menyadari bahwa sebagai manusia hanya berkewajiban untuk berusaha, kalau dapat apa yang diinginkan mensyukuri dan kalau tidak dapat pun tidak perlu kecewa berlebihan, karena hati ada dalam penerimaan dan keberpasrahan.

Jadi kuncinya adalah menyerahkan keinginan dan hasil kepada apa yang telah ditetapkan Yang Maha Kuasa dan mengusahakan proses terbaik yang bisa dilakukan untuk mewujudkan keinginan-keinginan yang pantas. Inilah yang dimaksud dengan bahagia tanpa syarat!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar