Sabtu, 25 Maret 2017

Pokok Keenam

Pokok Keenam

AKU, EGOKU, MILIKKU 



Umumnya, dalam laku kehidupan jadi orang baik, kita menyadari bahwa kita tidak boleh jadi orang yang egois, orang baik itu tidak egois, dan tidak ada salah atas baiknya jadi orang baik, tetapi yang sering luput dari perhatian kita adalah, jadi orang baik itu seringkali terlalu menekan ego, menekan ego berarti menekan diri, menekan aku-nya itu sendiri. Saat itu terjadi, bahkan apa yang jadi milik Anda bisa dilepas dengan konyol, milik Anda yang berharga bisa diberikan kepada orang yang menekan diri Anda dengan sadar ataupun tidak.

Anda tidak jadi Aku yang utuh lagi ketika terus menekan ego, ketika mengalah terus, ketika tidak bisa membedakan mana yang menjadi milik-ku, hak-ku, dan mana yang bukan. Ini sumber susah juga, mau jadi orang baik malah diperbudak oleh orang lain, anak, istri, suami, atasan, customer, dll. Tidak, tidak oh tidak, tidak boleh seperti itu, karena apa? Karena setiap ego yang ditekan, setiap keakuan yang ditekan, itu bisa jadi penyakit di dalam dan sewaktu-waktu bisa keluar dengan ganas.

Peribahasa atas kondisi ini ada dua:

1. Hati-hati terhadap sakit hatinya orang baik;
2. Hati-hati terhadap marahnya orang sabar

Marahnya orang sabar bisa lebih brutal daripada seorang pemarah, karena dia telah memendam rasa sekian lama, rasa jengkel yang terus menerus. Misal, karena sering ditekan oleh customer dan tidak bisa berbuat apa-apa mengingat di benaknya tertanam bahwa customer adalah raja, maka sisi lainnya muncul di rumah, jadi sering marah-marah terhadap anak-anak dan istri, marah-marah terhadap karyawan Anda.

Atau kasus dimana sama atasan dilecehkan melulu, jadinya Anda marah dan sedih di dalam, ditekan terus sama atasan, namun terpaksa tekan ego, dan menahan marah, mungkin karena Anda merasa butuh dengan penghasilan saat ini dari bekerja jadinya Anda jadi takut sama atasan Anda, atau mungkin sebenarnya tidak takut kehilangan penghasilan, tapi dasarnya jiwa Anda feodal, melihat atasan seperti melihat tuan tanah, tahunya mesti sungkem terus sama yang di atas, eeh, lama-lama Anda tak tahan membendung amarah dan emosi, membludak juga marahnya, meledaklah suatu hari. Duarrr!!!

Anda bertiwikrama jadi raksasa dengan seribu muka, atau mungkin Anda berubah menjadi raksasa hijau, The Hulk. Anda ngamuk pada atasan Anda!


Pesan dari tema ini adalah, jadilah orang baik yang tidak menekan ego, keakuan tetap harus ada, karena itulah harga dirimu, itulah kesadaran akan Kebertuhanan berada, harga diri itu adalah titipan Tuhan yang harus dijaga, inilah siapa dirimu yang semestinya engkau hargai, kemampuanmu harus kau hargai, titipan Tuhan kau lindungi.

Jangan tekan ego, apalagi menghilangkan ego dan menempatkannya ke titik nol, lihatlah Ego sebagai salah satu bentuk kekuasaan Tuhan. Anda berpikir dengan membuat nol Ego begitu akan jadi orang sakti, akan jadi orang suci, padahal yang ada, Anda jadi stress, bisa tiba-tiba ngamuk jadi Hulk atau lari dari kenyataan.

Jadi, tempatkan ego di tempat yang pas, jangan tekan ego, tapi jangan juga lambungkan ego Anda setinggi langit, jangan jadi egois maksudnya, menjadi egois itu terlarang oleh tatanan jiwa dan sosial, jangan sampai terlalu tinggi egonya sehingga menganggap orang lain lebih rendah dari yang sebenarnya.

Bangsa Indonesia selama berabad-abad telah ditekan egonya oleh berbagai bangsa melalui beragam penjajahan. Penjajahan yang masuk dengan cara kekerasan dan pemaksaan maupun dengan cara yang samar melalui masuknya budaya, kepercayaan, dan ideologi yang kemudian mengakar dalam perikehidupan bangsa kita sehingga boleh jadi bisa menghilangkan jati diri atau budaya asli kita yang kita yakini memiliki keluhuran bila kita gagal untuk mawas diri terhadap hal-hal negatif yang masuk melalui hal tersebut di atas.

Namun, kita bersyukur, bahwasannya asimilasi sebagai kemampuan alamiah bangsa kita, telah mampu membawa berbagai hal baru dan asing yang masuk untuk diintegrasikan dengan jati diri atau budaya asli kita, yaitu dengan mengambil yang terbaik dari keduanya kemudian memanfaatkan dalam kehidupan kita untuk menjadikan kualitas kehidupan bersama yang lebih baik. Sampai kapanpun, selama suatu budaya atau kepercayaan tidak bertentangan dengan nilai keluhuran yang kita miliki, kita akan selalu menerima untuk masuk dan mengambil manfaatnya selama tidak bertentangan dengan keluhuran nilai yang ada.

Selama berabad-abad kita telah menerima masuknya berbagai paham, diantara sisi positifnya kita jadi bisa memahami bahwa secara esensi adalah sama apa yang ada di berbagai keyakinan, kepercayaan, dan ideologi yang berbeda yang ada di dunia. Rasa saling mhami, menghargai, persatuan, dan persaudaraan menjadi kunci utama atas beragam paham yang berbeda agar tidak terjadi perpecahan.

Demikianlah kita meyakini dan memahami, bahwa secara hakikat perbedaan itu sebetulnya berasal dari satu yang mengejawantah menjadi banyak. Inilah makna dari Bhinneka Tunggal Ika. Bahwa biarpun tampak berbeda di permukaan, namun secara esensi di dalam adalah sama. Segala bentuk perbedaan akhirnya menjadi nikmat yang membuat kehidupan di dunia menjadi tidak membosankan.

Kesadaran akan adanya kesamaan yang mendasar antara sesama manusia biarpun berbeda dalam ras dan bangsa, keyakinan, kondisi perekonomian dan pemahaman atau kesadaran spiritualitas, memberikan kita kepercayaan diri untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama manusia secara terhormat.

Inilah diantaranya bentuk dari menempatkan ego dengan sehat. Yaitu memposisikan diri dengan terhormat, bagaimanapun keadaan diri kita saat ini, peganglah selalu kepantasan dan kehormatan diri, jadikan diri kita baik apa adanya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar